• Dari berbagai peran publik yang dilakukan oleh para istri Nabi saw, Khadijah adalah salah satu yang memiliki peran yang luar biasa sebagai pendukung dakwah Nabi saw. Sejak permulaan ketika Rasul saw baru menerima wahyu Allah swt melalui Jibril,
  • Sejarah membuktikan bahwa gambaran sikap Nabi saw yang sangat menjunjung tinggi hak dan martabat kaum perempuan bukanlah sesuatu yang berada pada tataran konseptual melainkan juga terbukti pada tataran praktis. Nabi saw mendukung istri-istrinya untuk berperan dalam sektor publik. Khadijah adalah konglomerat yang sukses dalam usaha ekspor-impor, Shafiyah menekuni dunia rias pengantin, Zainab binti Jahsy terjun dalam proses penyamakan kulit binatang, dan Aisyah adalah politisi.
  • Bagi umat muslim sedunia, kami mengucapkan selamat tahun baru Hijriah

Sunday 29 May 2011

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN PESANTREN

Perempuan dan politik adalah wacana yang menarik diperbicangkan bahkan, menjadi suatu yang politis untuk di perdebatkan. Hal ini disebabkan oleh fakta, ketika politik ditempatkan di wilayah publik, definisi, konsep, dan nilai-nilai yang dikandungnya selalu menempatkan perempuan di luar area tersebut. Politik didefinisikan sebagai sesuatu yang negative (politiking), afiliasi suatu partai politik, dan dihubungkan hanya dengan mereka yang berkuasa, dimana laki-laki mendominasinya.

Peran politik formal perempuan merupakan fenomena menarik sehingga memunculkan wacana polemik yang berkepanjangan dalam rangka mencari format yang baku. Melalui format yang baku tersebut diharapkan perempuan dapat berperan secara optimal dalam kancah perpolitikan nasional.

Upaya perempuan untuk melepaskan jeratan terali besi kultural kaum laki-laki telah memasuki tahapan yang paling menentukan. Tuntutan tradisional yang hanya sebatas menuntut kesetaraan dalam status sosial ekonomi, telah berubah menjadi tuntutan yang lebih modern. Tuntutan modern dimanifestasikan ke dalam bentuk kesetaraan dalam hal pengambilan keputusan strategis dalam bidang politik.

Kaum perempuan ingin 'bermain' dalam bidang politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang politiklah segala kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (baca: wanita) dapat dibuat secara proporsional. Secara implisit bermakna, perempuan harus merubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik.

Suatu kesadaran baru yang merupakan akumulasi dari serentetan perjuangan yang pernah dilakukan kaum perempuan. Sinyal keberhasilan tersebut berupa pemberian kuota 30 persen untuk perempuan di lembaga legeslatif. Dengan harapan perempuan dapat merubah mengeliminasi kebijakan publik yang selama ini cenderung bercorak maskulin.

Maria menjadikan Fatayat NU --tempat dimana dia mendapat amanah memimpin selama dua periode—sebagai laboratorium. Di organisasi ini dia melakukan eksperimen-eksperimen untuk melakukan proses penyadaran gender kepada masyarakat (culture). Menurutnya, perubahan di aspek kultural saja tidak cukup menyelesaikan persoalan ketidakadilan gender, nampaknya harus simultan dengan upaya perubahan terhadap berbagai isi perundang-undangan dan kebijakan (content) serta perubahan sikap maupun prilaku para pengambil keputusan (stucture) yang masih bias gender. Atas dasar kondisi tersebut, kemudian pergulatan wacana perempuan dalam politik menghangat termasuk menuntut kuota dalam legislatif. Bahkan setelah disahkan Undang-Undang nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang memasukkan keterwakilan 30 persen perempuan sebagai calon legislatif, gerakan perempuan sangat solid mendukung partisipasi perempuan dalam politik pada pemilu tahun 2004, meskipun hasilnya belum seperti yang diharapkan.

Buku ini merupakan ijtihad politik dari seorang perempuan pesantren. Ketika masih banyak diantara kita yang menganggap aktivitas politik sebagai sesuatu yang kotor, keras dan maskulin, Maria melalui buku ini merayu kita. Bahwa politik adalah niscaya. Baginya, politik justru yang menjadi roda kesinambungan kerja pemberdayaan masyarakat, ketika sementara orang masih lebih memilih ranah intelektual dan kultural untuk agenda sosial.

Dengan latar belakang pesantren yang dimilikinya, Maria sang aktivis ingin membalikkan bahwa politik bisa bekerja untuk memperjuangkan kebersihan, pemberdayaan, keberpihakan dan keadilan. Terutama keadilan gender, dengan segenap isu sosial yang melingkupinya; hak reproduksi, hak pendidikan, hak sosial-politik, persoalan rumah tangga, pornografi, HIV/AIDS dan isu sosial lain. Bagi Maria, politik harus bekerja untuk transformasi sosial bagi perempuan sebagai kelompok mayoritas yang termarjinalkan (silent majority), dan kelompok-kelompok lain yang rentan dengan kekerasan sosial; nelayan, petani, buruh perempuan, buruh migran, pekerja rumah tangga dan kelompok lain. Maria ingin menegaskan, aktivitas politik adalah media jihad untuk perubahan sosial, keberpihakan dan keadilan. Apalagi kini Maria telah menjadi anggota legislatif, dengan posisi tersebut dia bisa lebih “nyaring” lagi untuk melakukan ijtihad-ijtihad politik membela kaum perempuan. (us)

0 comments:

Post a Comment

Twitter Facebook Favorites More

 
art: netdohoa | Support for this Theme dohoavietnam